A.Agung Raka Yuda
DENPASAR - Hari masih pagi ketika Taft Kebo mengaum pelan di halaman rumah Pak Made. Awan tipis menggantung di langit timur, seolah memberi isyarat perjalanan hari itu bakal istimewa. Tujuannya jelas, Bukit Sega dan Pura Lempuyang. Bukan buat upacara, bukan juga karena niat spiritual mendalam tapi karena ingin lepas dari hiruk-pikuk dan menguji kembali nyali serta nyawa si Kebo di tanjakan ekstrem.
“Ngajak naik Kebo ke Lempuyang tuh kayak ngajak kakek ikut lomba panjat pinang, ” celetuk Gede, sahabat seperjalanan yang udah duduk manis di jok depan, bawa kamera dan sebotol teh dingin.
Kebo, meski umur udah lebih dari kepala tiga, tetap gagah. Jalan menanjak ke Bukit Sega bikin mesinnya kerja keras, tapi torsinya yang legendaris bikin Kebo terus merangkak naik, pelan tapi pasti. Angin makin dingin, dan kabut mulai turun waktu mereka melewati jalan sempit berliku di kaki gunung.
“Kayak masuk dunia lain, ” bisik Pak Agung , sambil motret panorama: kabut menari-nari di antara pohon tua, suara burung saling sahut dari kejauhan, dan Kebo di tengah semuanya berdiri bak veteran perang.
Sesampainya di Pura Lempuyang, suasana sunyi dan megah. Beberapa peziarah terlihat naik tangga panjang, wajah mereka penuh harap. Pak Made dan Pak Agung tak banyak bicara, hanya duduk sebentar di tembok batu, menikmati angin yang membawa bau dupa dan tanah basah.
Perut mulai keroncongan waktu mereka turun kembali. Tujuan selanjutnya: Mampir Di Warung Bu Sika, penjual Opokan menu Ikan Laut komplit. Mulai pepes ikan Anakan Tenggiri, Tum Ikan Kelapa Muda dan Sayur Terong undis hitamnya, makan siang di Oposan, Klungkung—tempat yang katanya punya pepes ikan paling mantap se Bali bagian timur.
Setibanya di sana, mereka disambut bau daun pisang dan bumbu rempah yang menguar dari dapur. Pepes ikan dibungkus rapi, disajikan dengan sambal matah dan Ketupat pulen. Hening sejenak saat makan dimulai—bukan karena suasana, tapi karena terlalu enak buat diganggu omongan.
Pak Made mengelus perutnya setelah suapan 12 bungkus tum ikan terakhir, lalu nengok ke Kebo yang diparkir di bawah pohon ketapang.
“Kalau pepes itu makanan buat jiwa, Kebo itu kendaraan buat kenangan, ” katanya sambil nyengir.
Dan di situlah mereka, 4 orang dan 3 mobil tua, baru pulang dari perjalanan yang sederhana tapi sarat makna, karena setiap tanjakan, kabut, dan sambal matah punya cerita sendiri yang tak bisa dibeli.
"Eksplorasi Petualanganmu Bersama Taft Kebo", Minggu Pagi, 20 | 04 | 2025. (Tim)